Senin, 20 Juli 2015

Percayadiri menjadi muslim unggul dan kuat

SERINGKALI karena derasnya arus informasi yang tidak diimbangi dengan pemahaman yang kuat terhadap ajaran Islam, tidak sedikit anak-anak muda, bahkan sarjana dan akademisi yang tidak percaya diri (PD) dengan ke-Islam-annya.

Padahal, Rasulullah telah memberikan penegasan, “Al-Islamu ya’lu walaa yu’la ‘alayh ,” yang artinya, “Islam itu unggul dan tidak ada yang mengunggulinya.”

Keunggulan Islam itu terbukti dalam berbagai aspek, mulai dari kebenaran ajarannya, kebahagiaan para pelakunya (Nabi dan Rasul), sampai pada aspek saintifik berupa terbangunnya peradaban yang menginspirasi dunia hingga hari ini.

Sebelum dunia sekarang gaduh soal toleransi, Islam di Madinah telah memprakarsai bagaimana toleransi
dibangun. Umat Islam bisa berdampingan hidup bersama
non-Muslim. Tentu dengan kesepakatan-kesepakatan
yang telah disepakati bersama (Piagam Madinah).

Dalam konteks kemanusiaan, jangankan dalam kondisi damai. Dalam perang pun Islam melarang tentara Muslim membunuh anak-anak, kaum wanita, dan lansia. Bahkan, dalam sejarah, Sholahuddin Al-Ayyubi tidak mau berperang jika pemimpin pihak musuh sedang sakit.

Jadi, ketika menang, memang kemenangan itu diraih secara terhormat, bukan dengan kelicikan yang sering digunakan para penjajah dalam mengelabuhi penduduk pribumi.

Kemudian dalam ketertiban sosial, Islam melarang yang namanya khamr (minuman memabukkan, termasuk narkoba), sehingga tidak akan terjadi yang namanya kerusuhan, pembunuhan karena narkoba, kecelakaan mobil karena mabuk, dan lain sebagainya.

Prinsipnya, seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali, Islam dengan syariatnya itu menghendaki yang namanya maslahat. Yakni melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Jadi, segala sesuatu yang termasuk upaya melindungi kelima pokok ini adalah maslahat.

Pemahaman di atas sebenarnya sudah cukup banyak diketahui oleh umat Islam sendiri. Pertanyaannya
kemudian adalah, bagaimana supaya pengetahuan di atas merasuk dalam jiwa sampai membentuk kerangka berpikir dan sistem kesadaran diri?

Pertama, iqra’ bismirabbik. Perbedaan umat Islam dengan umat lainnya adalah pada metodologinya dalam menggali ilmu pengetahuan, termasuk pada pengamalan paling sederhana, yakni membaca.

Dalam Islam, membaca harus disertai dengan bismirabbik, yang
artinya “ Dengan nama Tuhanmu .”
Sebagai contoh kasus, ketika kita melihat hujan, maka hujan ini tidak sebatas penjelasan teori fisika. Tetapi kita masuk lebih dalam bahwa hujan ini adalah bagian dari
rekayasa-Nya untuk menciptakan keseimbangan kehidupan alam, sehingga hujan akan dipandang sebagai rahmat.

Lantas, bagaimana tatkala hujan ternyata menimbulkan banjir? Perlu analisa terlebih dahulu. Pertama tentang bagaimana manusia memperlakukan alamnya. Kedua ,
bagaimana sikap manusia terhadap pepohonan dan tata lingkungannya. Ketika pembangunan sudah tidak lagi memperhatikan alam dan lingkungan, sudah pasti banjir adalah konsekuensi dari perbuatan tangan manusia itu sendiri.

Demikian pula dalam memandang lelaki dan perempuan. Keduanya diciptakan untuk berpasangan. Jadi,
bagaimana mungkin ada gagasan yang membolehkan praktik homoseksual dan lesbian. Jika pun itu dirasionalisasikan, maka itulah dampak membaca tanpa bismirabbik.

Kedua, memahami Rasulullah. Pernah ketika masih mahasiswa, saya mengikuti training organisasi
kemahasiswaan yang salah satu materinya membahas tentang kebenaran. Menurut instrukturnya kala itu, kita tidak boleh percaya begitu saja dengan apa yang orang
katakan sebagai sumber kebenaran, meskipun itu adalah apa yang diyakini kita sebagai kitab suci.

“Kebenaran itu dari titik nol, titik,” tegasnya. Saya lantas bertanya, “Apakah titik nol itu, di manakah
titik nol itu, dan siapakah yang mengatakan bahwa kebenaran itu dari titik nol? Kemudian, “Terus, siapa ibu dari yang mengatakan bahwa kebenaran itu dari titik nol,
siapa ayahnya, siapa keluarganya, siapa sahabat-sahabatnya, dan bagaimana kesehariannya dalam
pergaulan bersama sesama?”

Instruktur itu terdiam. Dan, tak lama kemudian menangis. “Saya merasa bersalah, sebab gara-gara materi ini, dulu saya sempat tidak shalat dan lepas jilbab,” ucapnya sembari mengusap air mata. Rasulullah itu manusia biasa, tetapi beliau membawa risalah wahyu. Dirinya terjamin, jelas asal-usulnya, lengkap sejarahnya, mulia akhlaknya, bermakna setiap ucapan dan tindakannya. Lantas, bagaimana mungkin kita lebih memilih sumber kebenaran lain daripada apa yang Rasulullah dakwahkan dengan penuh kasih sayang?

Ketiga, komparasi sejarah. Terakhir, kita mesti memahami
bahwa Islam itu adalah agama yang menghendaki
kemenangan bagi siapapun. Bukan penjajahan, seperti
yang selama ini dipraktikkan oleh peradaban Barat.
“Ketika Islam datang ke Indonesia, maka kekayaan alam
Indonesia tidak diangkut ke Makkah dan Madinah.
Sebaliknya, ketika Portugis dan Belanda datang ke
Indonesia, maka kekayaan alam Indonesia diangkut
sekuat mereka mengangkut ke negerinya masing-masing.
Jadi, Islam itu mulia dan memuliakan. Oleh karena itu,
penting bagi seluruh umat Islam, terutama generasi
mudanya untuk kembali mengkaji Islam secara serius,
sehingga tidak kehilangan jati diri, apalagi kehilangan
adab. Sungguh, Islam ini mulia dan akan mulia siapa
yang hidup istiqomah bersama ajaran Islam. Wallahu
a’lam .*/ Imam Nawawi
Rep: Admin Hidcom

Ciri orang berakal menurut Buya Hamka

SATU bukti Islam sebagai agama yang menghargai akal dapat dibuktikan dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang tersurat maupun tersirat memerintahkan
umatnya untuk berpikir dengan memperhatikan apa saja yang ada di dunia ini, bahkan di dalam diri manusia itu sendiri.
Sebagaimana firman-Nya:

ﻭَﻓِﻲ ﺃَﻧﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺃَﻓَﻠَﺎ ﺗُﺒْﺼِﺮُﻭﻥَ

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak
memperhatikan?. ” (QS Adz-Dzariyat [51]: 21).

Dengan demikian, sungguh beruntung umat Islam, karena kitab sucinya justru mendorongnya untuk
mempergunakan akalnya secara maksimal guna mengetahui hingga haqqul yaqin kebenaran ajaran Islam.

Oleh karena itu seorang Muslim itu idealnya adalah orang yang benar-benar memanfaatkan akalnya.

Menurut Buya Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam bukunya Falsafah Hidup orang berakal itu memiliki tanda-tanda nyata dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.

Pertama , orang berakal itu luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau yang menyenangkan.

Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti. Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah
didapat padahal rapuh.

Jadi, akhirat lebih utama bagi
mereka dibanding dunia.

Kedua, orang berakal selalu menaksir harga dirinya, yakni dengan cara menilik hari-hari yang telah dilalui, adakah dipergunakan kepada perbuatan-perbuatan yang
berguna, dan hari yang masih tinggal ke manakah akan dimanfaatkan.

Jadi, tidak ada waktu yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi sampai menguliti kesalahan atau aib orang lain.

Ketiga, orang berakal senantiasa berbantah dengan dirinya. Sebelum melakukan suatu tindakan, ada
timbangan yang digunakan, apakah yang dilakukannya baik atau jahat dan berbahaya.

Kalau baik, maka diteruskan, jika berbahaya segera dihentikan.

Keempat, orang berakal selalu mengingat kekurangannya.

Bahkan, kata Buya Hamka, “Kalau perlu dituliskannya di dalam suatu buku peringatan sehari-hari. Baik kekurangan pada agama, atau pada akhlak dan kesopanan. Peringatan diulang-ulangnya dan buku itu
kerapkali dilihatnya untuk direnungi dan diikhtiarkan mengasur-angsur mengubah segala kekurangan itu.”

Kelima, orang berakal tidak berdukacita lantaran ada cita-citanya di dunia yang tidak sampai atau nikmat yang meninggalkannya.
Buya Hamka menulis, “Diterimanya
apa yang terjadi atas dirinya dengan tidak merasa kecewa dan tidak putus-putusnya berusaha. Jika rugi
tidaklah cemas, dan jika berlaba tidaklah bangga. Karena cemas merendahkan hikmah dan bangga mengihilangkan timbangan.”

Keenam, orang berakal enggan menjauhi orang yang berakal pula.

Artinya, temannya adalah orang yang berhati-hati dalam hidupnya, sehingga terjaga komitmennya dalam memegang risalah kebenaran.

Ketujuh, orang yang berakal tidak memandang remeh suatu kesalahan.

“Walaupun bagaimana kecilnya di mata orang lain. Dia tidak mau memandang kecil suatu kesalahan. Karena bila kita memandang kecil suatu kesalahan, yang kedua, ketiga, dan seterusnya, kita tidak merasa bahwa kesalahan itu besar, atau tak dapat membedakan lagi mana yang kecil dan mana yang besar.”

Kedelapan , orang yang berakal tidak bersedih hati. Buya Hamka menulis, “Orang yang berakal tidak berduka hati. Karena kedukaan itu tiada ada faedahnya. Banyak duka
mengaburkan akal. Tidak dia bersedih, karena kesedihan tidaklah memperbaiki perkara yang telah terlanjur. Dan, banyak sedih mengurangi akal.”

Kesembilan, orang berakal hidup bukan untuk dirinya semata, tetapi untuk manusia dan seluruh kehidupan.

Buya Hamka menulis, “Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukat buat dirinya sendiri.”

Demikianlah sembilan tanda orang berakal menurut Buya Hamka. Dan, lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa orang berakal itu hanya memiliki kerinduan kuat pada tiga perkara.

Pertama, menyediakan bekal untuk hari kemudian. Kedua, mencari kelezatan buat jiwa. Dan, ketiga, menyelidiki arti hidup.

Subhanallah, uraian Buya Hamka ini sangat berfaedah buat kita semua untuk mengukur diri, apakah selama ini telah memanfaatkan akal sebaik-baiknya, atau justru sebaliknya.

Tetapi, apapun yang telah berlalu, sekarang adalah saatnya kita meningkatkan iman dan taqwa
dengan memaksimalkan fungsi dan peran akal sesuai dengan tuntunan ajaran Islam . Wallahu a’lam .*

Di copy dari hidayatullah.com