Minggu, 21 Juni 2015

Yang Lebih Menakjubkan dari Mukjizat

oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna . 04/03/2014

Inilah Madinah, pekan-pekan
menjelang Perang Ahzab. Pada hari-hari itu, sebagaimana diceritakan
oleh Jabir ibn ‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu , jatah makan untuk setiap penggali Khandaq di kota Madinah adalah sebutir kurma, seteguk air, dan tepung yang diadoni minyak panas.

Seberapa banyak tepung itu? “Jika tangan kami terbasuh air kemudian
dimasukkan ke dalam kantung persediaan tepung”, ujar Jabir, “Maka tepung yang menempel di telapak yang basah itulah jatah makan sehari kami.”

Tentu saja, sebab terbayangkan bahwa pengepungan pasukan Quraisy dan sekutunya akan berlangsung lama.

Dan para sahabat kian merasa malu ketika Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang turut bekerja bersama mereka sejak di hari pertama mengangkat beliungnya untuk menghantam batu terkeras yang mereka temukan di jalur penggalian parit pertahanan.
“Allahu Akbar”, beliau bertakbir, mengabarkan akan sampainya
Islam dan kaum muslimin ke Syam, Persia, dan Yaman.

Selain iman yang semakin terukir lagi berkibar, di benak para sahabat
tersisa rasa getir yang menggeletar.

Ada dua batu di sana. Terselempit di sela sabuk celana Rasulullah yang mengganjal perutnya. Aduhai, bagaimana tak terbit airmata. Kekasih Allah yang paling mulia, lebih lapar dibandingkan seluruh
sahabatnya. Dia ada bersama, dalam suka dan duka. Dia turut bekerja, tak ingin istimewa.

“Seandainya kami duduk saja
sementara Sang Rasul bekerja”, demikian senandung orang-orang Anshar yang lalu dinasyidkan semua, “Jadilah ia bagi kami hal yang membawa sesat selamanya.”

Tibalah hari itu, ketika Jabir ibn ‘Abdillah pulang dengan air mata menggenangi pelupuk dan dada sesak. “Wahai istriku”, panggilnya, “Demi Allah, apakah yang masih engkau miliki? Demi Allah, aku tak
tega melihat rasa lapar yang menyiksa Rasulullah. Andai selain beliau, pasti sudah tak sanggup menahannya!” “Hanya ada seekor anak kambing”, jawab sang istri gugup, “Dan segenggam tepung
kasar di persediaan kita”.

“Keluarkanlah semua. Aku akan
menyembelih dan menguliti anak kambing itu. Kau adonilah tepungnya menjadi roti.”

Ketika akhirnya masakan itu siap, Jabir pun mendatangi Sang Nabi dengan mengendap-endap.
“Ya Rasulallah”, bisiknya kemudian,
“Ada sekedar roti dan sedikit daging di rumah kami. Berkenanlah untuk sejenak datang dan menyantapnya.”

Beliau tersenyum dan mengangguk.
Dipanggillah seseorang dan diperintahkan untuk mengumumkan kepada semua penggali parit, “Semuanya, datanglah ke rumah Jabir untuk makan bersama!”

Betapa gugupnya Jabir melihat itu. “Aduhai celaka”, batinnya panik, “Aku hanya meminta beliau untuk bersantap tapi beliau mengajak seluruh Muhajirin dan Anshar!”

Tapi Rasulullah tersenyum padanya,
menepuk bahunya, dan menggamit
lengannya. Tak bisa tidak Jabir hanya bergumam, “Demikian inilah Rasulullah!”

“Jangan kalian buka penutup wadahnya”, ujar Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Beliau juga meminta kedua suami istri yang saling berpandangan dengan khawatir itu untuk sejenak menyingkir. Kemudian beliaupun berdoa dan memohon berkah atas hidangan itu. “Masuklah rombongan
berrombongan dan jangan berdesakan”, perintah beliau kepada seluruh hadirin.

Kelompok demi kelompok mereka masuk, sedangkan Nabi mengambilkan roti dan menuangkan masakan daging ke atasnya.

Beliau berkhidmah pada semua
sahabatnya, satu demi satu, hingga yang terakhir. Padahal penggali parit dalam Perang Ahzab, kira-kira 3000 jumlahnya.

Semuanya makan, semua merasa kenyang, dan puas. Tiba giliran Jabir dan istrinya, dan Rasulullah masih melayani mereka, baru sesudahnya beliau makan dengan penuh kesyukuran.

Beliau mengucap terimakasih pada keduanya dan mendoakan kebaikan, lalu beranjak.

“Demi Allah”, ujar Jabir, “Ketika kuperiksa wadah makanan kami, roti maupun dagingnya masih utuh seperti semula.”

Mu’jizat ini mengagumkan. Tapi apa yang dilakukan Rasulullah dengan menjaga kebersamaan dalam suka dan duka, terlebih lagi bagaimana beliau melayani para sahabat dengan tangannya sendiri adalah lebih menakjubkan.

Inilah Nabi, penghulu alam semesta. Maka beliaupun menjadi pelayan yang paling rendah hati bagi sesama.

Hatta kelak di akhirat, di perjalanan
seluruh manusia antara kebangkitan dan penghimpunan, beliau akan bersiaga di tepi sebuah telaga yang lebih harum dari kasturi. Beliau menyambut ummatnya, melayani mereka minum dari airnya yang
lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju.

Tapi wajahnya mendung tiap kali beberapa manusia dihalau dari Al Kautsar. “Ya Rabbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”

Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!” Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga
Shan’a di Yaman. Di sisinya ada gelas kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dan inilah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sang pelayan yang paling menakjubkan.

sepenuh cinta,
salim a. fillah

Sabtu, 06 Juni 2015

Jendela kereta api

Hari itu, di kereta api terdapat seorang pemuda bersama ayahnya.

Pemuda itu berusia 24 tahun, sudah cukup dewasa tentu. Di dalam kereta, pemuda itu memandang
keluar jendela kereta, lalu berkata pada Ayahnya.

"Ayah lihat, pohon-pohon itu sedang berlarian"

Sepasang anak muda duduk berdekatan. Keduanya melihat pemuda 24 tahun tadi dengan kasihan. Bagaimana tidak, untuk seukuran usianya, kelakuan pemuda itu tampak begitu kekanakan.

Namun seolah tak peduli, si pemuda tadi tiba-tiba berkata lagi dengan antusiasnya,

"Ayah lihatlah, awan itu sepertinya sedang mengikut kita!"

Kedua pasangan muda itu tampak tak sabar, lalu berkata kepada sang Ayah dari pemuda itu.

"Kenapa Anda tidak membawa putra Anda itu ke seorang dokter yang bagus?"

Sang Ayah hanya tersenyum, lalu berkata.

"Sudah saya bawa, dan sebenarnya kami ini baru saja dari rumah sakit. Anak saya ini sebelumnya buta
semenjak kecil, dan ia baru mendapatkan penglihatannya hari ini"

***
Sahabat, setiap manusia di planet ini memiliki ceritanya masing-masing. Jangan langsung kita men-judge seseorang sebelum kita mengenalnya benar. Karena kebenaran boleh jadi mengejutkan kita.

Selalu berprasangka baik kepada setiap orang, karena itu yang diajarkan Nabi kita, dan itulah cara yang baik untuk hidup...
Mari perbaikidiri

Sumber : Teman

Kamis, 04 Juni 2015

Insan fakir yang terkenal di Langit

Kisah sahabat mengharukan penghuni langit.

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya
lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya
menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.

Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil
disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua
dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya.

Dia adalah "Uwais al-Qarni". Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagaimana tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.

Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi
diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata :

"Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri".

Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tidak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa.

Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu. Bilamana ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.

Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.

Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran.

Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka
memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.

Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka
itu telah "bertamu dan bertemu" dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum.

Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang
kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan
adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.

Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya
terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW,
sekalipun ia belum pernah melihatnya.

Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa.

Akhirnya, pada suatu hari Uwais
mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi
menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar
permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : "Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang".

Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.
Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman.

Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya.

Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke tumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam.

Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang.

Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia
cepat pulang ke Yaman, "Engkau harus lekas pulang".

Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia
akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya.

Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.

Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya.
Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit).

Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun.
Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Rosulullah SAW bersabda : "Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-
tengah telapak tangannya." Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali dan sayyidina
Umar r.a. dan bersabda :
"Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi".

Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar
ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit.Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu
menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka.

Diantara kafilah-kafilah itu ada yang
merasa heran, apakah gerangan sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua.

Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.

Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar
r.a. dan sayyidina Ali mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka.

Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di
perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni.

Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali memberi salam.
Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman.

Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW.
Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah
nama saudara ? "Abdullah", jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan
mengatakan : "Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?" Uwais
kemudian berkata: "Nama saya Uwais al-Qorni".

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu.
Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka.

Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: "Sayalah yang
harus meminta do’a kepada kalian". Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: "Kami datang ke
sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda". Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya
mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar.

Setelah itu Khalifah Umar r.a.
berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata :
"Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi".

Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais , waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang.

Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga
air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat.

Pada saat itu, kami melihat seorang
laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya.
Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu.

"Wahai waliyullah," Tolonglah kami !" tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi," Demi Zat yang
telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!" Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata:
"Apa yang terjadi ?" "Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak ?"
tanya kami. "Dekatkanlah diri kalian pada Allah ! "katanya.
"Kami telah melakukannya." "Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!" Kami
pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu.

Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut. Lalu orang itu berkata pada kami ,"Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat".

"Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? "Tanya kami. "Uwais al-Qorni". Jawabnya dengan singkat. Kemudian kami berkata lagi
kepadanya, "Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah
yang dikirim oleh orang Mesir." "Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?" tanyanya. "Ya," jawab kami.

Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat di atas air, lalu berdo’a.

Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan.

Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.

Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya.

Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana
sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya.

Demikian pula ketika orang pergi
hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga
selesai.

Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk
mengusungnya.

Dan Syeikh Abdullah bin Salamah
menjelaskan, "ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat
penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)

Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang
amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang
fakir yang tak dihiraukan orang.

Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap
melaksanakannya terlebih dahulu.

Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya :
"Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ?
Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya
hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ?

Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.

Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan
pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa "Uwais al-Qorni" ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.

Subhanallah...